Pages

8/31/2009

Potret Urban 4

beberapa kumpulan makhluk turunan kedua dalam jenis berbeda
tersesat di antara serakan potret urban belantara
tapi tak bersuara, tak bernyawa

mereka menyisakan tanda dalam skala warna beraneka
goresan luka terendam keringnya kulit dan hasil rambut olahan
yang dipajang tuan dan nyonya sebagai lambang kehebatan

transaksi terus berjalan
perburuan semakin mengedan

apa pasokan kulit kemarin belum cukup mengeyangkan perut?
atau masih kurang sekawanan domba tereksekusi demi eksploitasi?

kebutuhan sandang, katamu: trend, gaya baru!
setelah dikenakan mengapa tak jua menutup aurat? (tanyaku polos)

    Pamulang, 2009

Potret Urban 3

: percakapan semut dengan manusia

M: aku hanya diam, kok kesemutan, sih? (gerutu manusia pada keadaan)
S: aku berlari sana sini tak pernah keorangan! (hahaha)
M: gerangan apa buatnya begitu? (terheran dengan wajah berubah bodoh)
S: sebelum hujan, kami berbondong mengumpul sisasisa guna persediaan
sementara kalian terus saja menghiasi rumah kalian dengan sampah!
M: lalu? (dengan polos menggaruk kepala)
S: saat hujan tiba kami tertawa bahagia, sementara kalian mengeluhkan datangnya banjir!
M: ... hanya diam tak berkata apaapa! ...

    Pamulang, 2009

8/30/2009

Potret Urban 2

masa silam kembali bersalam
menyusup lembut di tengah hingar bingar kota
tangga kasta menjelma jadi peran utama
sewajarnya yang lemah bersimpuh patuh
layaknya rumah kolong jembatan menyembah gedunggedung tinggi

    Muncul, 2009

8/29/2009

Potret Urban 1

kota menjanjikan ada
namun ada tak berikan segala
langit bumi jadi pemberat neraca
hingga primitif merupa sensitif

Muncul, 2009


Sumber gambar: Devian Art

Potret Pulau Antara

aku tak mampu melukis wajahmu
pada kanvas tanah yang memerah akibat genang darah
pula tak sanggup mengukir namamu
di atas bentang air keruh sebab putih yang terbunuh

jemari tanganku melemah tanpa letupan empat lima
karena lelah sudah kugunakan mengusap dada,
menyumbat suara, mengunci telinga dan menutup mata!

    Maret, 2009

Gemuruh Desah Bibir Pantai

pucuk rembulan di puncak malam
jadi saksi bisu gelisah ombak,
di tengah luap dan teriak alpa
rimbun pening pikat
tak terhembus angin rindu ujung pantai
semakin pengap isi otak bercecer sembarang
bersama pasir putih yang terenyuh

gigi pantai dirajam tawa
gelombang air terpasung dosa

pertarungan lidah bersimbah lelah
terengahengah desah penuh gairah
kecup gunung berbongkah mengusap lembut ke bawah
: menarinari, meliukliuk di sisi lembah

di pinggir pantai, basah
baris riak merantai, jengah
saksikan sunah berubah zinah

    Ancol, 2008

8/20/2009

Tak Berpamit

aku pergi
bagai angin membisik kemudian diam

mungkin waktu ini bukanlah tepat
bagi kita mengulang cerita masa lalu
baiklah engkau nikmati dahulu
tawa renyah kawankawan baru yang bernafas anggur itu

maaf jikalau jejakku tiada bertitip pesan
tetapi sekelebat senyum dan tatap
masih berhak kau ingat kembali
meski dalam laju waktu
'ku tak mampu yakinkan langkah
berbalik singgah ke tempatmu,

biarlah geram ini kubawa pulang
kumakan serta tiada bersisa
aku pergi bersama kealpaanku sendiri
: salam,


Sumber gambar: Tor De Vries

8/18/2009

Asa Sebuah Rasa

gerangan apa
entah kenapa
seketika mata berwujud air
cepat mengalir ke dalam hati

          o, inikah romansa
          pada cawan luka yang lama mengering?
          o, betapa kini tetesantetesan rindu
          dengan pasti membasahi retakan hati

dan perlahan rasa mencair jadi genang asa:
andai tak berbuih seperti air laut menggelombang

    Pamulang, 2009

Bendera di Peraduan Musim

bendera kusam di tiang-tiang berkarat
bendera lebam dipatuk musim-musim kesumat
bendera karam dalam jati diri penuh khianat
bendera geram pada teduh yang mengerat

        bendera itu adalah darah tulangku
        bendera itu adalah nnusantaraku

kini tak lagi ada merah yang berani
bukan pula putih yang jadi suci
lemah daya berkibar di tengah kepak janji
rapuh tenaga menaungi bermacam huru-hara

rupa-rupa musim menghantamnya lembut mematikan
tapi tak satu pun lantang bernyanyi:
"siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela ..."
semua malah sibuk menyusun sajak-sajak kehidupannya sendiri
semua justru menabung harta di brankas perutnya masing-masing

hey ... di sana ibuku menangis kehilangan buah hati
di sini kawanku berpasrah menonton opera sumpah serapah
di mana saudara perempuanku?
merintihkah ia menahan sakit direnggut keperawanannya?

bhineka tunggal ika, konon
kusebut kini beraneka tanggul luka
bijaksana, katamu
kukatakan sekarang bijak sini

        lihatlah benderaku ...
        berdiam diri dikangkangi spanduk-spanduk berjuta produk
        tengoklah kibarannya ...
        tak segagah panji-panji beribu janji

kemanakah pergi nurani hati yang menjelata?
kemanakah lari amanah derita kaum tepian?

benderaku membeku seribu bahasa
namun kusamnya warna sudah cukup menceritakan segala
benderaku melemah terbujur kaku di puncak mega
namun lamban kibarnya menggores purba kisah sang saka

dari kejauhan kudengar ratapannya
menjelajah masuk telinga menusuk raga
kembalikan aku kepada sejatinya musim khatulistiwa
bukan keajaiban tangan dan cemerlangnya fikir manusia
        berikan aku tropis
        bukan dari ganasnya panas eksperimen makhluk global
        berikan aku air,
        bukan hujan buatan dari awan-awan percobaan modern!

8/17/2009

Episode Bambu Runcing

di atas tanah ini,
dalam lembar catatan negeri
: pasukan bambu runcing berani mati;

di kejernihan air,
episode bambu runcing masih mengerlip
kilau emas tinta semangat juang

merahmerah darah mewarnai tanah
putihputih tulang
karangkarang di laut membentang

teriak merdeka atau mati
terhunus senjata atau angkat bambu runcing

allahu'akbar
allahu'akbar
: jiwajiwa korbankan nyawa

allahu'akbar
allahu'akbar,
empat lima kobar merdeka

episode bambu runcing jangan pernah berhenti
episode bambu runcing, berani mati!
episode bambu runcing teladan pertiwi
episode bambu runcing: musti diputar kembali.

      2008-2009

Petikan Syair Malam

kutuliskan kembali
barisan syair yang dipetik malam
manakala mati angin tiada jelas meski sketsa

ah, kali ini hanya mampu mengingat
menandai selusuh potret yang tersirat
kurebut satu di antara acak gemintang
dan membiarkannya mencair
melumuri catatanku yang mengusang

      Tangerang, 2009

8/05/2009

Mbah Surip: Ai Lop Yu Pul

Siapa tak kenal dengan Mbah Surip alias Urip Ariyanto, salah satu ikon rock reagge yang melambung namanya berkat hits "Tak Gendong" itu. Lewat lagu itu pula, beliau seolah ingin "menggendong" kehidupannya (termasuk keluarga) menuju kehidupan yang lebih layak di balik hingar bingar kota Jakarta. Dari seorang yang hidup menggelandang dan tak dilirik orang, sontak menjadi selebritis dengan kekayaan terakhir tercatat Rp. 82 miliar.1

Popularitas Mbah Surip pun mendadak naik di belantika musik negeri menggeser beberapa nama besar macam ST 12, D'Massive dan yang lainnya.

Sejalan beranjaknya nama besarnya, maka banyak pula tawaran silih berganti mendatanginya. Spontan dia menjadi idola baru di kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Namun, faktor kelelahan dan kurangnya istirahat tanpa disadari justru menjadi bumerang. Ketenaran yang baru digapai raib seketika. Ya, kehendak Sang Pencipta berkata lain. Laki-laki yng tengah berada di titik kulminasi popularitas ini dipanggil Sang Pencipta pada hari Selasa (4/8) pukul 10.30 WIB.

"Pengalaman dari artis dan seniman kita, termasuk yang terjadi pada almarhum Mbah Surip, membuktikan, akumulasi antara kelelahan, kurang tidur, banyak mengonsumsi kopi, dan merokok terus-menerus mencetuskan terjadinya gangguan akut pada tubuh, di antaranya serangan jantung yang berakibat fatal,"2

Mbah Surip ibarat meteor. Kita mengenalnya sebagai cahaya yang tiba-tiba melintas di langit industri kopi hiburan, tetapi sekejap mata lenyap ditelan kabut.3

Kini, Mbah Urip Mbah Surip tak sanggup lagi menggendong. Bahkan dirinya "digendong" oleh orang-orang terdekatnya menuju rumah singgahan yang lebih pasti. Penyanyi bergaya Bob Marley yang terkenal dengan 'I Love You Full' ini berencana membuat album Ramadhan tak lama lagi. Dia juga berniat menggandeng Manohara untuk berduet.


Ai Lop Yu Pul
: Mbah Surip

kucintamu sepenuh
seperti kejamnya hidup menggerogoti di langkahan usia
kusayangi sungguhsungguh
sepenuh tuangan kopi di gelasgelas popularitas


ah, kini mimpi telah didapat
meski yang kudapat belum genap didapat

ai lop yu pul
kubagi tawa biar semua tertawa
ai lop yu pul
kunyanyikan lagu biar menari sukasuka

sungguh cinta ini sangatlah utuh
seperti sang mahacinta menyayangku penuh

: di lautnya kini aku berlabuh

    Roy Manu Leveran: Agustus, 2009


Tak gendong ke mana-mana ...
Tak gendong ke mana-mana ...
Selamat jalan, Mbah Surip....
4


Referensi

8/04/2009

Sajak Kopi dan Reagge Tua

: Mbah Surip

ribuan kata dalam hitam kopi
bercampur mesra di lubang bibir gelas mimpi
hitam sepekat harapan lama
meski kini terganti berpadu putih susu

beribu celoteh dan maki
pun sudah kau habiskan dari belasan jenis kopi
yang sebetulnya kau sangatsangat mengerti
pahit itu sama
seperti kehidupanmu di tepian waktu

dalam lagu berirama santai
entah berapa banyak sudah kau teguk mimpimimpi
walau dipaksa rebah tubuh dalam damai
namun hatimu tahu bahwa akhir adalah pasti

: pada cangkircangkir kopi yang belum sempat terhitung itu
telah dituliskan katakata
sebagai perpisahanmu
dari kebingungan nasib kepada rasa punya
dan dari kehidupan kepada siempunya segala punya

   Tangerang, 2009